melawan budaya, haruskah???
MELAWAN BUDAYA, HARUSKAH?
Oleh : Tri Siswandi Syahputra
Mahasiswa fisika angkatan 2006, anggota senat mahasiswa Universitas Negeri Medan
Pemilu baru saja diselenggarakan sekitar 3 bulan yang lalu,tepatnya pada juli 2009. Hasil dari pemilu legislative tersebut masih didominasi oleh kaum tua. Begitu juga pada pilpres. 3 kandidat president bertarung merebut kursi nomor 1. Dan hasilnya terpilihlah presiden lama Indonesia yaitu Susilo Bambang Yudoyono. Pada pemilihan Gubernur-gubernur di Indonesia juga dipenuhi masyoritas oleh kaum tua.
Hasil dari survey tersebut menunjukan kepemimpinan muda belum mendapatkan tempat dimasyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemuda masih minim. Padahal potensi dari pemuda sungguh besar. Bangsa Indonesia sendiri lahir dari sosok pemuda. Disinilah letak krisis kepemimpinan pemuda Indonesia. Bangsa ini belum mampu melahirkan pemimpin muda yang handal, yang visioner dan memilki pandangan nasionalis yang kuat. Stigma “ yang Muda yang tidak dapat diperaya” pun sepertinya sesuai menggambarkan kondisi sekarang.
Karna krisis kepemimpinan pemuda itu sendiri, banyak tempat-tempat pemimpin di isi oleh kepemimpinan tua. Masyarakat lebih memilih orang tua yang sudah renta. Contoh kasus yang harus ditelisik adalah terpilihnya seorang jaksa yang sudah berusia lanjut. Timbul sebuah dilematis terhadap pemuda, apa yang ada pada pemuda sehingga pemuda tidak dipercaya oleh masyarakat.
Kondisi Real dari kepemimpinan pemuda
Kepemimpinan pemuda saat ini memang harus mengevaluasi kinerjanya, Baik pemuda yang bergerak di partai Politik maupun pada organisasi massa. Jika tidak mengevaluasi, maka sudah dipastikan krisis kepemimpinan muda akan terus ada.
Organisasi besar baik kemasyarakatan maupun mahasiswa tampaknya tidak dapat berkembang tanpa pengaruh dari senior. Magnet senior menjadi benteng utama dalam kebesaran organisasi tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa organisasi besar tersebut telah melahirkan banyak pemimpin yang besar pula. Namun yang perlu dikritisi adalah bangga terhadap senioritas yang berlebihan. Banyak anggota dari organisasi yang mengagungkan senioritas. Rasa bangga yang berlebihan akan berdampak aliran kepemimpinan yang monoton, tidak dinamis. Sehingga proses munculnya sosok kepemimpinan yang baru berjalan lamban. Rasa bangga memang akan menambah kepemilikan dari organisasi tersebut akan ada. Asal jangan berlebihan.
Belum lagi kondisi organisasi kepemudaan yang berorientasi ke politik praktis. Banyak dari organisasi kepemudaan yang memang disusun secara rapi yang bergerak di kepemudaan namun dibaliknya bergerak dibidang politik praktis. Kondisi yang hanya dimanfaatkan oleh segelintir elit kepemudaan terhadap politik praktis ini membuat citra kepemudaan cenderung kearah negatif.
idealnya, organisasi kepemudaan haruslah mengabdi sepenuhnya kemasyarakat. namun jika memang organisasi tersebut bertujuan ke politik praktis itu tidak menjadi masalah, asalkan organisasi tersebut memiliki kaderisasi yang jelas.
Melawan budaya, haruskah?
Memang tidak bijak jika kita hanya bisa menyalahkan kaum pemuda sendiri terhadap krisis kepemimpinan pemuda sekarang. Masih banyak faktor lain yang menjadi penghalang. Salah satunya adalah faktor budaya, banyak budaya Indonesia yang lebih mendahulukan kaum tua ketimbang kaum muda. Dalam tradisi batak dan jawa misalnya, kaum tualah yang memegang pundi-pundi kepemimpinan sacral. Kondisi ini memang sudah menjadi kultrul yang sudah lama mengakar. Sebuah statement atau sebuah anektod dari sebuah iklan mengatakan “yang muda yang tidak dipercaya” adalah sebuah hal nyata. Iklan ini pasti bertujuan untuk mengendo kaum muda agar bisa lebih berani dalam menunjukan jati diri pemimpin. Sebuah statement positif yang membuat kita sebagai kaum muda untuk lebih kreatif
Budaya Indonesia seperti ini sebetulnya sudah merata di seluruh budaya dunia. Hal ini bisa kita lihat udari berbagai kegiatan yang bersifat sakral, baik di daerah maupun dipemerintahan.
Haruskah kita melawan budaya? Jawabanya tidak. Kita tidak harus melawan budaya untuk membuat kaum muda lebih menunjukan jiwa kepemimpinan, Yang kita perlukan adalah berkerja keras dengan konsistensi dalam bertindak. Justru kita memiliki kekuatan besar dalam yang bersumber dari berbagai daerah. Kepemimpinan tersebut akan melahirkan kepemimpinan yang sangat nasionalis yang dapat mengambil tempat di masyarakat Indonesia.
Batak, Jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan semua suku yang ada haruslah menjadikan keberagaman ini menjadi sebuah momentum dalam melahirkan kepemimpinan yang diharapkan.
Pergerakan Pemuda, Pergerakan Masyarakat
Kilas balik dari pergerakan pemuda dapat kita lihat pada sejarah organisasi kepemudaan di Indonesia. Banyak organisasi yang bergerak pada masyarakat seperti PPI (Pemuda Pelajar Indonesia), KAMI, KAPI dan yang lainya.
Yang terpenting dari kegiatan pemuda adalah bagaimana pemuda khususnya mahasiswa bisa menerapkan ilmunya untuk pengabdian masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, pergerakan pemuda itu akan diakui jika memang pemuda bisa berguna untuk masyarakat. Untuk itu salah satu cara dalam upaya mengendo kaum muda adalah dengan memperbanyak kegiatan yang berhubungan dengan kepemimpinan yang bertujuan kemasyarakat. Seperti program sarjana masuk desa untuk mahasiswa, Bakti Sosial dan sebagainya. Dengan ini kamum muda bisa lebih terbiasa dalam meningkatkan potensi jiwa kepemimpinannya.
Pemuda seperti mahasiswa merupakan garda depan dalam hal ini. Ini sudah ditetapkan pada tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Perguruan Tinggi sebagai pengabdi ke masyarakat. Jika seperti ini maka perguruan tinggi harus melakukan kegiatan mahasiswa yang berorientasi ke masyarakat, seperti Kuliah Kerja Nyata, Bakti Sosial, Program Kreatifitas Mahasiswa Untuk Masyarakat dan sebagainya.
Organisasi Kepemudaan yang bersifat massa atau paguyuban juga harus mengorientasikan kerjanya ke masyarakat. Seperti bakti sosial, Pelatihan Kreatifitas, dan sebagainya. Organisasi tersebut seharusnya lebih cenderung kepada kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan Politik Praktis.
Hindari Materialitas
Bisa saja kaum muda kurang mendapat kepercayaan karna lebih cenderung pada matrialitas. Untuk itu kita bisa megubah paradigma tersebut dengan memperbaiki system dan urgensi dari organisasi kepemudaan tersebut.
Di era Modernisasi ini memang berimbas kedalam bentuk materialistic. Tidak luput kaum muda menjadi sasarannya. Kalau dijaman penjajahan kaum muda memiliki peran sentral dalam setiap titik krusial perjalanan bangsa dan mengenyampingkan material, sekarang sudah tidak seperti itu. Organisasi kepemudaan haruslah mengisi kemerdekaan itu sendiri dengan menunjukan identitas bangsa, menyesuaikan namun tetap memilki wana kepemimpinan yang berasal dari berbagai budaya. Disinilah letak tantangan tersebut.
Tumbuhkan Harapan
Sejarah Indonesia membuktikan kaum muda memiliki peran sentral dalam setiap titik krusial perjalanan bangsa. Gerakan Boedi Oetomo, para pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928, dan desakan kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan, tercatat dalam lembar sejarah bangsa. Sukarno baru berusia 44 tahun ketika dipercaya menjadi presiden pertama dan Soeharto berumur 45 tahun saat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan nasional. Kenyataan itu hendaknya membuat kaum muda tak patah arang. Harapan kaum muda untuk memimpin negeri ini senantiasa harus ditumbuhkan.
Sekarang saatnya berbenah harapan itu masih ada. Kepemimpinan muda haruslah berbenah diri, haruslah menjadi garda depan pergerakan, mengikis hambatan-hambatan. Tidak ada stigma negative dari masyarakat jika kita mengetahui potensi kita.
Sekali lagi, kita terus mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin muda yang bisa melayani masyarakat dan menjadi tonggak kemajuan bangsa. Kalau obama bisa menjadi presiden pada usia 47 tahun, kenapa kita tidak bisa menjadi pemimpin?
Oleh : Tri Siswandi Syahputra
Mahasiswa fisika angkatan 2006, anggota senat mahasiswa Universitas Negeri Medan
Pemilu baru saja diselenggarakan sekitar 3 bulan yang lalu,tepatnya pada juli 2009. Hasil dari pemilu legislative tersebut masih didominasi oleh kaum tua. Begitu juga pada pilpres. 3 kandidat president bertarung merebut kursi nomor 1. Dan hasilnya terpilihlah presiden lama Indonesia yaitu Susilo Bambang Yudoyono. Pada pemilihan Gubernur-gubernur di Indonesia juga dipenuhi masyoritas oleh kaum tua.
Hasil dari survey tersebut menunjukan kepemimpinan muda belum mendapatkan tempat dimasyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemuda masih minim. Padahal potensi dari pemuda sungguh besar. Bangsa Indonesia sendiri lahir dari sosok pemuda. Disinilah letak krisis kepemimpinan pemuda Indonesia. Bangsa ini belum mampu melahirkan pemimpin muda yang handal, yang visioner dan memilki pandangan nasionalis yang kuat. Stigma “ yang Muda yang tidak dapat diperaya” pun sepertinya sesuai menggambarkan kondisi sekarang.
Karna krisis kepemimpinan pemuda itu sendiri, banyak tempat-tempat pemimpin di isi oleh kepemimpinan tua. Masyarakat lebih memilih orang tua yang sudah renta. Contoh kasus yang harus ditelisik adalah terpilihnya seorang jaksa yang sudah berusia lanjut. Timbul sebuah dilematis terhadap pemuda, apa yang ada pada pemuda sehingga pemuda tidak dipercaya oleh masyarakat.
Kondisi Real dari kepemimpinan pemuda
Kepemimpinan pemuda saat ini memang harus mengevaluasi kinerjanya, Baik pemuda yang bergerak di partai Politik maupun pada organisasi massa. Jika tidak mengevaluasi, maka sudah dipastikan krisis kepemimpinan muda akan terus ada.
Organisasi besar baik kemasyarakatan maupun mahasiswa tampaknya tidak dapat berkembang tanpa pengaruh dari senior. Magnet senior menjadi benteng utama dalam kebesaran organisasi tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa organisasi besar tersebut telah melahirkan banyak pemimpin yang besar pula. Namun yang perlu dikritisi adalah bangga terhadap senioritas yang berlebihan. Banyak anggota dari organisasi yang mengagungkan senioritas. Rasa bangga yang berlebihan akan berdampak aliran kepemimpinan yang monoton, tidak dinamis. Sehingga proses munculnya sosok kepemimpinan yang baru berjalan lamban. Rasa bangga memang akan menambah kepemilikan dari organisasi tersebut akan ada. Asal jangan berlebihan.
Belum lagi kondisi organisasi kepemudaan yang berorientasi ke politik praktis. Banyak dari organisasi kepemudaan yang memang disusun secara rapi yang bergerak di kepemudaan namun dibaliknya bergerak dibidang politik praktis. Kondisi yang hanya dimanfaatkan oleh segelintir elit kepemudaan terhadap politik praktis ini membuat citra kepemudaan cenderung kearah negatif.
idealnya, organisasi kepemudaan haruslah mengabdi sepenuhnya kemasyarakat. namun jika memang organisasi tersebut bertujuan ke politik praktis itu tidak menjadi masalah, asalkan organisasi tersebut memiliki kaderisasi yang jelas.
Melawan budaya, haruskah?
Memang tidak bijak jika kita hanya bisa menyalahkan kaum pemuda sendiri terhadap krisis kepemimpinan pemuda sekarang. Masih banyak faktor lain yang menjadi penghalang. Salah satunya adalah faktor budaya, banyak budaya Indonesia yang lebih mendahulukan kaum tua ketimbang kaum muda. Dalam tradisi batak dan jawa misalnya, kaum tualah yang memegang pundi-pundi kepemimpinan sacral. Kondisi ini memang sudah menjadi kultrul yang sudah lama mengakar. Sebuah statement atau sebuah anektod dari sebuah iklan mengatakan “yang muda yang tidak dipercaya” adalah sebuah hal nyata. Iklan ini pasti bertujuan untuk mengendo kaum muda agar bisa lebih berani dalam menunjukan jati diri pemimpin. Sebuah statement positif yang membuat kita sebagai kaum muda untuk lebih kreatif
Budaya Indonesia seperti ini sebetulnya sudah merata di seluruh budaya dunia. Hal ini bisa kita lihat udari berbagai kegiatan yang bersifat sakral, baik di daerah maupun dipemerintahan.
Haruskah kita melawan budaya? Jawabanya tidak. Kita tidak harus melawan budaya untuk membuat kaum muda lebih menunjukan jiwa kepemimpinan, Yang kita perlukan adalah berkerja keras dengan konsistensi dalam bertindak. Justru kita memiliki kekuatan besar dalam yang bersumber dari berbagai daerah. Kepemimpinan tersebut akan melahirkan kepemimpinan yang sangat nasionalis yang dapat mengambil tempat di masyarakat Indonesia.
Batak, Jawa, Sunda, Aceh, Dayak dan semua suku yang ada haruslah menjadikan keberagaman ini menjadi sebuah momentum dalam melahirkan kepemimpinan yang diharapkan.
Pergerakan Pemuda, Pergerakan Masyarakat
Kilas balik dari pergerakan pemuda dapat kita lihat pada sejarah organisasi kepemudaan di Indonesia. Banyak organisasi yang bergerak pada masyarakat seperti PPI (Pemuda Pelajar Indonesia), KAMI, KAPI dan yang lainya.
Yang terpenting dari kegiatan pemuda adalah bagaimana pemuda khususnya mahasiswa bisa menerapkan ilmunya untuk pengabdian masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, pergerakan pemuda itu akan diakui jika memang pemuda bisa berguna untuk masyarakat. Untuk itu salah satu cara dalam upaya mengendo kaum muda adalah dengan memperbanyak kegiatan yang berhubungan dengan kepemimpinan yang bertujuan kemasyarakat. Seperti program sarjana masuk desa untuk mahasiswa, Bakti Sosial dan sebagainya. Dengan ini kamum muda bisa lebih terbiasa dalam meningkatkan potensi jiwa kepemimpinannya.
Pemuda seperti mahasiswa merupakan garda depan dalam hal ini. Ini sudah ditetapkan pada tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Perguruan Tinggi sebagai pengabdi ke masyarakat. Jika seperti ini maka perguruan tinggi harus melakukan kegiatan mahasiswa yang berorientasi ke masyarakat, seperti Kuliah Kerja Nyata, Bakti Sosial, Program Kreatifitas Mahasiswa Untuk Masyarakat dan sebagainya.
Hindari Materialitas
Bisa saja kaum muda kurang mendapat kepercayaan karna lebih cenderung pada matrialitas. Untuk itu kita bisa megubah paradigma tersebut dengan memperbaiki system dan urgensi dari organisasi kepemudaan tersebut.
Di era Modernisasi ini memang berimbas kedalam bentuk materialistic. Tidak luput kaum muda menjadi sasarannya. Kalau dijaman penjajahan kaum muda memiliki peran sentral dalam setiap titik krusial perjalanan bangsa dan mengenyampingkan material, sekarang sudah tidak seperti itu. Organisasi kepemudaan haruslah mengisi kemerdekaan itu sendiri dengan menunjukan identitas bangsa, menyesuaikan namun tetap memilki wana kepemimpinan yang berasal dari berbagai budaya. Disinilah letak tantangan tersebut.
Tumbuhkan Harapan
Sejarah Indonesia membuktikan kaum muda memiliki peran sentral dalam setiap titik krusial perjalanan bangsa. Gerakan Boedi Oetomo, para pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928, dan desakan kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan, tercatat dalam lembar sejarah bangsa. Sukarno baru berusia 44 tahun ketika dipercaya menjadi presiden pertama dan Soeharto berumur 45 tahun saat meneruskan tongkat estafet kepemimpinan nasional. Kenyataan itu hendaknya membuat kaum muda tak patah arang. Harapan kaum muda untuk memimpin negeri ini senantiasa harus ditumbuhkan.
Sekarang saatnya berbenah harapan itu masih ada. Kepemimpinan muda haruslah berbenah diri, haruslah menjadi garda depan pergerakan, mengikis hambatan-hambatan. Tidak ada stigma negative dari masyarakat jika kita mengetahui potensi kita.
Sekali lagi, kita terus mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin muda yang bisa melayani masyarakat dan menjadi tonggak kemajuan bangsa. Kalau obama bisa menjadi presiden pada usia 47 tahun, kenapa kita tidak bisa menjadi pemimpin?
0 Response to "melawan budaya, haruskah???"
Post a Comment