Membendung Apatisme Mahasiswa
Membendung Budaya Apatisme Mahasiswa
Tri siswandi Syahputra
Pergerakan mahasiswa saat ini telah mengalami pergeseran yang cukup significan, Subjek-subjek idealisme mahasiswa telah berubah sesuai dengan tuntutan kehidupan. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang mempiliki idealisme harus ditukar dengan Tugas-tugas dan budaya Hedonisme yang kuat? Sungguh membingungkan.
Ya itulah penyebab apatisme. apatisme biasa muncul untuk merefleksikan sikap yang acuh tidak acuh dan ketidakpedulian terhadap suatu permasalahan atau keadaan yang terjadi
Apatisme mahasiswa sudah dapat tercium dari setiap lini kampus. Kita bisa lihat dari kehidupan mahasiswa saat ini. Istilah Kencan, Kantin, Kost. Kuliah (4K) masih layak untuk disematkan di diri mahasiswa.
Tiga Gambaran Kehidupan Kampus
Kehidupan kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa kesan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus, seringkali dijadikan sebagai ajang perdebatan mengenai seberapa besar kepentingan mahasiswa terpenuhi dan seberapa tersalurkannya aspirasi mereka atas kebijakan itu sendiri Kampus, memiliki dunianya sendiri. Dunia dewasa yang penuh tantangan dan pilihan untuk memilih (being a winner or a looser). Dunia bagi mahasiswa untuk mencari dan membentuk jati dirinya. Suka ataupun tidak, hal tersebut memang terjadi di dalam kampus, dan memaksa banyak orang untuk mulai berfikir apa yang ada di dalam kehidupan kampus dewasa ini.
Pesta, buku dan cinta. Tiga paket gambaran yang tidak pernah lepas dalam kehidupan kampus, dan identik dengan kehidupan mahasiswanya. Pesta bisa di artikan secara harfiah ataupun secara occasionally disesuaikan dengan keadaan yang terjadi. Tetapi, pesta sudah diidentikkan dengan keadaan berhura-hura untuk menghabiskan uang dan mendapatkan kepuasan sesaat tanpa memperhatikan proses sesudahnya.
Bersenang-senang atau pesta bisa dilakukan dengan banyak cara. Dengan didukung oleh jiwa muda mahasiswa yang menginginkan kebebasan dan penuh dengan sikap pemberontakan, pesta merupakan kegiatan menunjang yang mampu membawa aura orang dewasa untuk menjadi lebih muda dan bergairah. Adanya banyak kategori pesta yang bisa diartikan disini. Misalnya saja, pesta dugem. Dengan alunan musik, suasana malam yang dingin dan minuman beralkohol yang menghangatkan; pesta memiliki keistimewaan tersendiri. Dengan didukung oleh faktor masalah kehidupan yang berat dan keinginan untuk melepaskan beban permasalahan menumpuk, memaksa banyak orang untuk memilih pesta dugem sebagai salah satu alternatif yang dirasa mampu memenuhi sisi kesenangan yang hilang.
Apakah dengan bersenang-senang ini akan menimbulkan sifat apatisme? Ya itu pasti. Sebab hedonisme tidak mengenal kondisi sosial. Yang terpenting adalah bagaimana mereka “enjoyable “
Buku, memang bagian penting dari mahasiswa. karena dengan buku mahasiswa akan menjadi lebih intelektual dan berbobot. Pengetahuan yang luas, prestasi yang memuaskan, merupakan hal yang didapatkan dari buku. Kampus sangat mendukung banyaknya referensi bacaan yang diharapkan mampu menjadikan mahasiswa merasa puas untuk memilih unversitas yang mereka masuki, serta sangat membantu mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Tetapi di sisi lain, buku ternyata merubah kepribadian seorang mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa dulunya sangat bijaksana dan memandang segala sesuatunya dengan netral, tetapi setelah dia mengenal buku dan mempelajari buku tertentu dan akhirnya ‘ketagihan’, yang terjadi selanjutnya adalah mahasiswa tersebut menjadi condong dan beraliran kiri ataupun kanan.
Apakah dengan Buku akan menimbulkan sifat apatisme? Itu tergantung pada perspektif kita. Jika kita memandang bahwa dengan buku ada banyak hal yang dapat kita lakukan kepada masyarakat, termaksud menyelesaiakan pemasalahan bangsa, tentu posisi buku sangat sesuai dengan diharapakn. Bahkan dapat menjadikan mahasiswa peduli dengan masyarakat. Namun jika buku diposisikan hanya untuk menyelesaikan tugas, tanpa mengetahui manfaatnya kepada masyarakat, tentu dia dapat menjadikan mahasiswa apatis.
Cinta anak kampus, merupakan kalimat yang paling banyak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Banyak pengamat sinetron misalnya, mengatakan bahwa cinta anak kampus merupakan tema yang paling banyak memikat hati penonton karena realita anak muda menuntut hal tersebut. Atau pemerhati musik beranggapan bahwa cinta merupakan bagian lirik yang paling banyak diminati oleh kaum muda.
Begitu pula yang terjadi dalam relita kehidupan kampus. Mahasiswa yang dalam masa pubertas, sudah mulai mencari cinta untuk melengkapi sisi kehidupannya. Ingin ada yang memperhatikan, ingin ada yang menyayangi dan berbagi, merupakan keinginan lumrah dari setiap mahasiswa saat ini. Namun seringkali tuntutan lingkungan anak muda untuk berbagi cinta justru menjerumuskan mahasiswa itu sendiri ke dalam jeratan cinta.
Dengan Cinta mahasiswa lebih mempedullikan pasangan semata, sementara tuntutan yan g lebih besar yaitu pengabdian kepada masyarakat sangat jarang diterapkan. Nah kalau sudah begini tentu cinta bisa diposisikan sebagai salah satu bagian dari penyumbang apatisme.
Tiga Gambaran kehidupan kampus diatas, dirasakan telah mampu melengkapi kehidupan mahasiswanya. Apakah ketiganya menjadikan mahasiswa idealis, ataukah menjadikan mahasiswa cenderung apatis. Itu tergantung kepada paradigma kita.
Membendung Apatisme
Diatas sudah dijelaskan tentang gambaran kehidupan kampus, ,Apatisme beserta konsekwensi yang di timbulkan. Nah sekarang adalah bagaimana untuk mengatasinya?
Dalam pemerintahan mahasiswa, Bem atau Senat sebetulnya mempuyai andil besar dalam mengambil kebijakan oleh pihak birokrasi. Posisi Badan Eksekutif mahasiwa menjadi sebuah pilar dasar terkait regulasi pihak birokrasi. Dalam perfektif ini sinkronisasi antara Birokrasi dan BEM harus lah ditingkatkan.
Setelah terlibat dalam pengambil kebijaksanaan, BEM dapat mengambil sebuah inisiatif beserta solusi yang aplikatif terkait budaya apatisme. BEM atau Ormawa dapat menjadi Jembatan untuk meninggalkan budaya apatisme di masyarakat.
Dinamisasi Kegiatan
Dinamisasi kegiatan merupakan hal penting yang bertujuan agar kegiatan yang dilakukan oleh para aktivis Baik BEM atau Ormawa tidak monoton. Setiap rentang waktu, diciptakan kegiatan yang baru dan attraktif. Misalnya adalah jika tahun ini Suatu BEM mengadakan kegiatan pelatihan soft skill dengan materi lokal, tahun depan adalah bagaimana kegiatan ini bisa menghadirkan pemateri nasional dengan format kegiatan out bond. Tentu ini akan menarik perhatian mahasiwa.
Kewajiban Birokrasi
Ada sebuah ide yang menurut hemat penulis sangat baik di implementasikan. Yaitu mewajibkan setiap mahasiswa untuk mengikuti kegiatan intra kampus, seperti HMJ, Senat dan Unit kegiatan Mahasiswa. Kebijakan ini dapat dijembatani oleh Bidang Kemahasiswaan Universitas. Misalnya setiap mahasiswa tidak diberikan izin kelulusan jika yang bersangkutan tidak pernah aktif di kegiatan mahasiswa.
Dengan kebijakan tersebut mahasiswa mau tidak mau akan mengikuti organisasi yang diwajibkan. Nah disinilah para aktivis bertugas memberikan masukan kepada mahasiswa agar sensitive terhadap perubahan di masyarakat. Disinilah dibagun paradigma bahwa tri dharma perguruan tinggi haruslah benar-benar di implementasikan.
Kebijakan Birokrasi kontrovesial
Pada tahun 2006 dikeluarkan sebuah keputusan bahwa mahasiswa tidak boleh tamat diatas 14 semester. Tentu ini menjadi improvisasi bahwa mahasiswa harus segera menyelesaikan perkuliahannya dengan tepat waktu. Tahun 2008 pihak birokrasi mencanangkan gerakan sofskill untuk diterapkan dalam proses pembelajaran. Hasilnya belum dapat disimpulkan, tapi menurut pandangan mahasiswa implementasi tersebut sangatlah belum sesuai dengan yang diharapkan. Mahasiswa hanya berkutat dengan softskill di perkuliahan, sementara permasalahan luar mereka masih tidak peduli. Contoh kasus adalah mengenai korupsi. Bagi para aktivis, kasus korupsi menjadi pembicaraan yang hangat. Tidak jarang forum diskusi dalam bentuk seminar dan Talkshow dilaksanankan. Tentu dimata aktivis kasus korupsi harus bisa diselesaikan dengan segera. Bila perlu mahasiswa memberikan solusi aplikatif terkait pemberantasan korupsi.
Bagi para mahasiswa yang apatis, kasus korupsi tentu hanya sebatas kasus saja mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengatasinya, bahkan mereka sudah menganggap korupsi adalah hal yang biasa. Mereka lebih suka dengan budaya hedonisme dan student orientik.
Memang ada beberapa kebijakan birokrasi yang sangat seusai untuk membendung budaya apatisme. Seperti yang terjadi pada Universitas Paramadina. Setiap Mahasiswa mendapatkan mata kuliah anti korupsi yang di implementasikan kepada masyarakat, Tugas Akhir dari mata kuliah ini adalah terjun kemasyarakat, seperti mengaudit budaya tepat waktu dan aliran dana dari institusi yang diteliti. Namun kebijakan tersebut dirasa masih kurang untuk menjadikan mahasiswa yang ideal.
Membangun Komunitas Ilmiah
Banyak mahasiswa apatis terhadap permasalahan di sekitarnya hanya karna takut bahwa aktivitas tersebut tidak sesuai dengan jurusan yang dimilikinya bahkan meraka takut mangganggu perkuliahannya. Untuk mengatasinya perlu dibuat kebijakan untuk merangsang mahasiswa dengan membentuk komunitas ilmiah, seperti membentuk forum diskusi mahasiswa IT. Forum ini akan berdiskusi seputar IT dan berusaha menjawab persoalan IT dimasyarakat. Nah kalau sudah begini pasti mahasiswa tersebut akan peduli dengan persoalan diluar kampus.
Misalnya lagi adalah membentuk komunitas dakwah Seperti Lembaga Dakwah Kampus, Komunitas ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada mahasiswa dan masyarakat kampus. Dengan komunitas ini mahasiswa lebih tertarik untuk serius belajar kemudian serius untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.
Menitik Beratkan pada tugas
Akhir-akhir ini terjadi sebuah kebijakan yang diprotes oleh mahasiswa. Kebijakan itu adalah menekankan mahasiswa dengan membebani tugas kuliah yang sangat banyak. Sangat sering terjadi pada mahasiswa bahwa pembebanan tugas tersebut membuat mahasiswa malas untuk berpartisipasi dengan para aktivis. Setiap hari para mahasiswa hanya disuguhkan tugas-tugas. Sangat jarang sekali mahasiswa diberikan tugas yang mencakup permasalahan bangsa. Apakah ini sebuah kebijakan yang baik? Atau para pihak birokrasi takut akan idealisme mahasiswa?
Yang jelas kesemua problem tersebut haruslah kita ubah. Kita masih ingat perlawanan 1998, kita masih memimpikan mahasiswa yang pro rakyat, kita masih berharap mahasiswa menjadi agent of change sekaligus director of change. Semoga..
Tri siswandi Syahputra
Pergerakan mahasiswa saat ini telah mengalami pergeseran yang cukup significan, Subjek-subjek idealisme mahasiswa telah berubah sesuai dengan tuntutan kehidupan. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa yang mempiliki idealisme harus ditukar dengan Tugas-tugas dan budaya Hedonisme yang kuat? Sungguh membingungkan.
Ya itulah penyebab apatisme. apatisme biasa muncul untuk merefleksikan sikap yang acuh tidak acuh dan ketidakpedulian terhadap suatu permasalahan atau keadaan yang terjadi
Apatisme mahasiswa sudah dapat tercium dari setiap lini kampus. Kita bisa lihat dari kehidupan mahasiswa saat ini. Istilah Kencan, Kantin, Kost. Kuliah (4K) masih layak untuk disematkan di diri mahasiswa.
Tiga Gambaran Kehidupan Kampus
Kehidupan kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa kesan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus, seringkali dijadikan sebagai ajang perdebatan mengenai seberapa besar kepentingan mahasiswa terpenuhi dan seberapa tersalurkannya aspirasi mereka atas kebijakan itu sendiri Kampus, memiliki dunianya sendiri. Dunia dewasa yang penuh tantangan dan pilihan untuk memilih (being a winner or a looser). Dunia bagi mahasiswa untuk mencari dan membentuk jati dirinya. Suka ataupun tidak, hal tersebut memang terjadi di dalam kampus, dan memaksa banyak orang untuk mulai berfikir apa yang ada di dalam kehidupan kampus dewasa ini.
Pesta, buku dan cinta. Tiga paket gambaran yang tidak pernah lepas dalam kehidupan kampus, dan identik dengan kehidupan mahasiswanya. Pesta bisa di artikan secara harfiah ataupun secara occasionally disesuaikan dengan keadaan yang terjadi. Tetapi, pesta sudah diidentikkan dengan keadaan berhura-hura untuk menghabiskan uang dan mendapatkan kepuasan sesaat tanpa memperhatikan proses sesudahnya.
Bersenang-senang atau pesta bisa dilakukan dengan banyak cara. Dengan didukung oleh jiwa muda mahasiswa yang menginginkan kebebasan dan penuh dengan sikap pemberontakan, pesta merupakan kegiatan menunjang yang mampu membawa aura orang dewasa untuk menjadi lebih muda dan bergairah. Adanya banyak kategori pesta yang bisa diartikan disini. Misalnya saja, pesta dugem. Dengan alunan musik, suasana malam yang dingin dan minuman beralkohol yang menghangatkan; pesta memiliki keistimewaan tersendiri. Dengan didukung oleh faktor masalah kehidupan yang berat dan keinginan untuk melepaskan beban permasalahan menumpuk, memaksa banyak orang untuk memilih pesta dugem sebagai salah satu alternatif yang dirasa mampu memenuhi sisi kesenangan yang hilang.
Apakah dengan bersenang-senang ini akan menimbulkan sifat apatisme? Ya itu pasti. Sebab hedonisme tidak mengenal kondisi sosial. Yang terpenting adalah bagaimana mereka “enjoyable “
Buku, memang bagian penting dari mahasiswa. karena dengan buku mahasiswa akan menjadi lebih intelektual dan berbobot. Pengetahuan yang luas, prestasi yang memuaskan, merupakan hal yang didapatkan dari buku. Kampus sangat mendukung banyaknya referensi bacaan yang diharapkan mampu menjadikan mahasiswa merasa puas untuk memilih unversitas yang mereka masuki, serta sangat membantu mahasiswa untuk menyelesaikan tugas-tugas akademiknya. Tetapi di sisi lain, buku ternyata merubah kepribadian seorang mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa dulunya sangat bijaksana dan memandang segala sesuatunya dengan netral, tetapi setelah dia mengenal buku dan mempelajari buku tertentu dan akhirnya ‘ketagihan’, yang terjadi selanjutnya adalah mahasiswa tersebut menjadi condong dan beraliran kiri ataupun kanan.
Apakah dengan Buku akan menimbulkan sifat apatisme? Itu tergantung pada perspektif kita. Jika kita memandang bahwa dengan buku ada banyak hal yang dapat kita lakukan kepada masyarakat, termaksud menyelesaiakan pemasalahan bangsa, tentu posisi buku sangat sesuai dengan diharapakn. Bahkan dapat menjadikan mahasiswa peduli dengan masyarakat. Namun jika buku diposisikan hanya untuk menyelesaikan tugas, tanpa mengetahui manfaatnya kepada masyarakat, tentu dia dapat menjadikan mahasiswa apatis.
Cinta anak kampus, merupakan kalimat yang paling banyak mendapatkan perhatian dari banyak kalangan. Banyak pengamat sinetron misalnya, mengatakan bahwa cinta anak kampus merupakan tema yang paling banyak memikat hati penonton karena realita anak muda menuntut hal tersebut. Atau pemerhati musik beranggapan bahwa cinta merupakan bagian lirik yang paling banyak diminati oleh kaum muda.
Begitu pula yang terjadi dalam relita kehidupan kampus. Mahasiswa yang dalam masa pubertas, sudah mulai mencari cinta untuk melengkapi sisi kehidupannya. Ingin ada yang memperhatikan, ingin ada yang menyayangi dan berbagi, merupakan keinginan lumrah dari setiap mahasiswa saat ini. Namun seringkali tuntutan lingkungan anak muda untuk berbagi cinta justru menjerumuskan mahasiswa itu sendiri ke dalam jeratan cinta.
Dengan Cinta mahasiswa lebih mempedullikan pasangan semata, sementara tuntutan yan g lebih besar yaitu pengabdian kepada masyarakat sangat jarang diterapkan. Nah kalau sudah begini tentu cinta bisa diposisikan sebagai salah satu bagian dari penyumbang apatisme.
Tiga Gambaran kehidupan kampus diatas, dirasakan telah mampu melengkapi kehidupan mahasiswanya. Apakah ketiganya menjadikan mahasiswa idealis, ataukah menjadikan mahasiswa cenderung apatis. Itu tergantung kepada paradigma kita.
Membendung Apatisme
Diatas sudah dijelaskan tentang gambaran kehidupan kampus, ,Apatisme beserta konsekwensi yang di timbulkan. Nah sekarang adalah bagaimana untuk mengatasinya?
Dalam pemerintahan mahasiswa, Bem atau Senat sebetulnya mempuyai andil besar dalam mengambil kebijakan oleh pihak birokrasi. Posisi Badan Eksekutif mahasiwa menjadi sebuah pilar dasar terkait regulasi pihak birokrasi. Dalam perfektif ini sinkronisasi antara Birokrasi dan BEM harus lah ditingkatkan.
Setelah terlibat dalam pengambil kebijaksanaan, BEM dapat mengambil sebuah inisiatif beserta solusi yang aplikatif terkait budaya apatisme. BEM atau Ormawa dapat menjadi Jembatan untuk meninggalkan budaya apatisme di masyarakat.
Dinamisasi Kegiatan
Dinamisasi kegiatan merupakan hal penting yang bertujuan agar kegiatan yang dilakukan oleh para aktivis Baik BEM atau Ormawa tidak monoton. Setiap rentang waktu, diciptakan kegiatan yang baru dan attraktif. Misalnya adalah jika tahun ini Suatu BEM mengadakan kegiatan pelatihan soft skill dengan materi lokal, tahun depan adalah bagaimana kegiatan ini bisa menghadirkan pemateri nasional dengan format kegiatan out bond. Tentu ini akan menarik perhatian mahasiwa.
Kewajiban Birokrasi
Ada sebuah ide yang menurut hemat penulis sangat baik di implementasikan. Yaitu mewajibkan setiap mahasiswa untuk mengikuti kegiatan intra kampus, seperti HMJ, Senat dan Unit kegiatan Mahasiswa. Kebijakan ini dapat dijembatani oleh Bidang Kemahasiswaan Universitas. Misalnya setiap mahasiswa tidak diberikan izin kelulusan jika yang bersangkutan tidak pernah aktif di kegiatan mahasiswa.
Dengan kebijakan tersebut mahasiswa mau tidak mau akan mengikuti organisasi yang diwajibkan. Nah disinilah para aktivis bertugas memberikan masukan kepada mahasiswa agar sensitive terhadap perubahan di masyarakat. Disinilah dibagun paradigma bahwa tri dharma perguruan tinggi haruslah benar-benar di implementasikan.
Pada tahun 2006 dikeluarkan sebuah keputusan bahwa mahasiswa tidak boleh tamat diatas 14 semester. Tentu ini menjadi improvisasi bahwa mahasiswa harus segera menyelesaikan perkuliahannya dengan tepat waktu. Tahun 2008 pihak birokrasi mencanangkan gerakan sofskill untuk diterapkan dalam proses pembelajaran. Hasilnya belum dapat disimpulkan, tapi menurut pandangan mahasiswa implementasi tersebut sangatlah belum sesuai dengan yang diharapkan. Mahasiswa hanya berkutat dengan softskill di perkuliahan, sementara permasalahan luar mereka masih tidak peduli. Contoh kasus adalah mengenai korupsi. Bagi para aktivis, kasus korupsi menjadi pembicaraan yang hangat. Tidak jarang forum diskusi dalam bentuk seminar dan Talkshow dilaksanankan. Tentu dimata aktivis kasus korupsi harus bisa diselesaikan dengan segera. Bila perlu mahasiswa memberikan solusi aplikatif terkait pemberantasan korupsi.
Bagi para mahasiswa yang apatis, kasus korupsi tentu hanya sebatas kasus saja mereka tidak pernah berpikir bagaimana mengatasinya, bahkan mereka sudah menganggap korupsi adalah hal yang biasa. Mereka lebih suka dengan budaya hedonisme dan student orientik.
Memang ada beberapa kebijakan birokrasi yang sangat seusai untuk membendung budaya apatisme. Seperti yang terjadi pada Universitas Paramadina. Setiap Mahasiswa mendapatkan mata kuliah anti korupsi yang di implementasikan kepada masyarakat, Tugas Akhir dari mata kuliah ini adalah terjun kemasyarakat, seperti mengaudit budaya tepat waktu dan aliran dana dari institusi yang diteliti. Namun kebijakan tersebut dirasa masih kurang untuk menjadikan mahasiswa yang ideal.
Membangun Komunitas Ilmiah
Banyak mahasiswa apatis terhadap permasalahan di sekitarnya hanya karna takut bahwa aktivitas tersebut tidak sesuai dengan jurusan yang dimilikinya bahkan meraka takut mangganggu perkuliahannya. Untuk mengatasinya perlu dibuat kebijakan untuk merangsang mahasiswa dengan membentuk komunitas ilmiah, seperti membentuk forum diskusi mahasiswa IT. Forum ini akan berdiskusi seputar IT dan berusaha menjawab persoalan IT dimasyarakat. Nah kalau sudah begini pasti mahasiswa tersebut akan peduli dengan persoalan diluar kampus.
Misalnya lagi adalah membentuk komunitas dakwah Seperti Lembaga Dakwah Kampus, Komunitas ini bertujuan untuk memberikan pencerahan kepada mahasiswa dan masyarakat kampus. Dengan komunitas ini mahasiswa lebih tertarik untuk serius belajar kemudian serius untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada.
Menitik Beratkan pada tugas
Akhir-akhir ini terjadi sebuah kebijakan yang diprotes oleh mahasiswa. Kebijakan itu adalah menekankan mahasiswa dengan membebani tugas kuliah yang sangat banyak. Sangat sering terjadi pada mahasiswa bahwa pembebanan tugas tersebut membuat mahasiswa malas untuk berpartisipasi dengan para aktivis. Setiap hari para mahasiswa hanya disuguhkan tugas-tugas. Sangat jarang sekali mahasiswa diberikan tugas yang mencakup permasalahan bangsa. Apakah ini sebuah kebijakan yang baik? Atau para pihak birokrasi takut akan idealisme mahasiswa?
Yang jelas kesemua problem tersebut haruslah kita ubah. Kita masih ingat perlawanan 1998, kita masih memimpikan mahasiswa yang pro rakyat, kita masih berharap mahasiswa menjadi agent of change sekaligus director of change. Semoga..
0 Response to "Membendung Apatisme Mahasiswa"
Post a Comment